er

Kontes Kentut di Jepang


Selama ini kamu mungkin mengira segala kultur dan kebiasaan aneh yang ada di Jepang baru dimulai oleh generasi-generasi anak mudanya jaman sekarang, percaya gak percaya, kultur aneh mereka sudah ada semenjak nenek-kakekmu belum lahir di dunia.

Jaman dahulu ada sebuah festival unik di Jepang berjudul He-Gassen (Perang Kentut). Festival ini merupakan sebuah tardisi orang-orang Jepang jaman dulu yang melakukan kentut kemana saja mereka mau. Mereka kentut ke orang lain, ke batang pohon, ke kuda, ke kucing, dan benda-benda malang lainnya.










Donald Richie yang dikenal sebagai kritikus film Jepang pernah menulis “Meskipun kentut jelas bukanlah fenomena yang harus diamati secara khusus di Jepang, sikap orang Jepang terhadapnya, saya pikir, unik"

Menurut Donald Richie, di Jepang ada gulungan kertas yang disebut sebagai “He-gassen” dan menggambarkan “kontes kentut”.


Apakah Benar Kontes Kentut Diadakan di Jepang Kuno?

"Di Jepang kuno, ada kontes publik diadakan untuk mendengar siapa yang bisa kentut paling keras dan paling lama, itulah juaranya."

Menurut Donald Richie, di Jepang ada gulungan kertas yang disebut sebagai “He-gassen” dan menggambarkan “kontes kentut”. Berikut ini adalah foto-foto yang dikutip dari situs Universitas Waseda yang memiliki lukisan “He-gassen” tersebut.

Menurut keterangan dari Universitas Waseda, lukisan “He-gassen” di atas dibuat pada tahun 1846, akhir zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Lukisan yang menggambarkan orang-orang yang bertempur dengan kentut ini memiliki daya tarik yang sangat misterius sebagai karya seni, sehingga membuat kita yang melihatnya pasti bertanya-tanya.


Beberapa tahun yang lalu, kontes kentut pernah diselenggarakan dalam sebuah acara komedi di TV Jepang. Dalam kontes tersebut, orang yang kentutnya paling keras akan menjadi juara (tidak terkait dengan bau dan lamanya kentut)
 

Sejarah Panjang Tempe


Tempe adalah salah satu makanan yang terbuat dari kedelai yang merupakan hasil kreasi bangsa sendiri. Di masa lalu Tempe sudah dikenal, di Jaman Majapahit Tempe sudah diyakini ada, penyebutan tempe sebagai makanan secara terang-terangan disebutkan dalam serat Centhini, jae santen tempe ( jenis masakan tempe yang dicampur santan) dan kadhele tempe srundengan. Serat centhini ditulis sekitar tahun 1805 dengan sponsor Pakubuwono V yang mengharapkan kitab ini bisa menjadi semacam ensiklopedi gaya hidup, pandangan spiritual dan tatanan dialektis masyarakat Jawa. Sebagai tambahan catatan walau ini masuk dalam referensi cerita rakyat, soal Tempe Bacem Kotagede yang terkenal sering disandingkan dengan Gudeng Manggar yang merupakan produk kuliner Ki Ageng Mangir Wonoboyo II, musuh politik Panembahan Senopati yang kepalanya dikepruk sang Panembahan setelah menghadap sebagai menantu dengan menikahi Puteri Panembahan yang pandai menari tayub, Pembayun. Dalam gudeng Manggar itu selalu ada tempe bacem Sargede (asal kata Pasar Gede, sebuah pasar di Kotagede), disini kemudian orang Bantul mengenang Gudeg Manggar sebagai satu-satunya bentuk kemenangan atas Panembahan Senopati yang bangsawan dari keturunan luar Hutan Mentaok.

Tempe menjadi makanan yang amat terkenal setelah krisis pangan pasca Perang Diponegoro, saat itu Van Den Bosch menerapkan kerja rodi, seluruh rakyat diharuskan menanam tanam-tanaman perkebunan seperti tebu dan karet, dan ini semakin merusak unsur hara tanah. Di masa ini tempe menjadi semacam makanan wajib. Rakyat yang kelaparan dan kehilangan padi-nya gara-gara harus berebut jam kerja dengan kewajiban rodi, memakan makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang tumbuh seperti : Ubi, Singkong dan Kedelai, nah kedelai ini diolah menjadi tempe, salah satu versi sejarah menyatakan bahwa tempe ditemukan pada era tanam paksa, tahun 1875 dengan meniru makanan Cina yang bernama Koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang.

Tempe menjadi penyelamat bangsa Eropa yang ditawan Jepang, saat itu Jepang masuk ke Indonesia dan mencari orang-orang Belanda untuk dimasukkan ke kamp kerja paksa dan dipenjara. Dalam penjara mereka dikasih makan tempe, ternyata tempe itu yang membuat para interniran londo itu bertahan hidup, sebab-nya tempe memiliki kandungan protein yang amat tinggi.

Menurut artikel Kompas, pada 3 Juli 2003 yang ditulis M. Astawan menyebutkan :

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu,dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.

Tempe merupakan industri-industri yang berkembang amat merakyat, murah harganya dan menjadi ciri khas paling dasar bangsa Indonesia, kebanyakan orang Indonesia memang suka dengan tempe. Saking merakyatnya, masakan ini pernah menjadi sangat inferior dalam kedudukan gengsi sosial bangsa kita, para priyayi bangsawan senengnya makan Beef Steak, yang diucapkannya sebagai Bestik. Sebagai gambaran tempe sebagai makanan rakyat ini terlihat sekali dalam novel Para Priyayikarangan Umar Khayam yang dirilis tahun 1994 tentang Ngadiyem yang tiap pagi ngider menjajakan tempe dan menjadi langganan keluarga Sastrodarsono. Ngadiyem ini kemudian ikut keluarga Sostrodarsono, setelah ikut dengan Sostrodarsono, Ngadiyem diperkosa oleh Soenandar yang juga kemenakan Sastrodarsono, dari Ngadiyem ini kemudian lahirlah Lantip, yang secara alam bawah sadar selalu menekankan ke-minderan-nya sebagai anak pedagang ider Tempe. “Aku tak mau menjadi kecu seperti bapakku atau pedagang ider tempe seperti ibuku”. Novel yang amat menarik ini masih menempatkan tempe sebagai makanan kelas rendahan.

Bung Karno sendiri pernah berteriak di depan ratusan ribu pendengarnya : “Janganlah kita sekali-sekali menjadi bangsa Tempe”. Disini Bung Karno bukan berteriak soal tempe sebagai makanan inferior bangsa kita, tapi sebagai ‘makanan yang diinjak-injak’. Namun bagi bagian banyak orang quotes ini dikenang sebagai ‘Rasa Inferioritas Tentang Tempe sebagai makanan”.

Lambang kemakmuran bangsa Indonesia adalah terhidangnya ayam goreng, semur daging atau ikan-ikan air tawar seperti ikan gurame dan ikan mas. Tempe dianggap sebagai bagian ‘makanan prihatin’. Tapi susah memisahkan Tempe dan juga Tahu ke dalam meja makanan orang Indonesia, kalau makan orang Indonesia itu ada empat hal : Nasi, Tempe, Tahu dan Kerupuk.

Di Jaman Orde Baru, ketersediaan pangan adalah syarat politik paling utama. Suharto bahkan sampai menyiapkan panggung teater ketersediaan pangan dengan aktor utamanya adalah Harmoko, rakyat sampai hapal setiap Rabu Malam di berita khusus TVRI setelah dunia dalam berita jam 9 malam berakhir ia selalu berkata “Atas petunjuk bapak Presiden…harga cabe keriting….bla..bla” sambil rambutnya jingkrak meninju rembulan. Saat itu bangsa Indonesia mengalami masa kepastian pangan luar biasa, jangankan soal tempe, soal cabe, soal beras saja kita berdaulat, walaupun hanya setahun yaitu tahun 1985 saat Pak Harto dengan gagah pidato di Roma, Italia pada sidang pleno FAO. Tapi dibalik kedigdayaan Pak Harto dan Politik Logistiknya dengan Pangan sebagai Panglima, dimasa itu terkenal kisah Tempe Bongkrek, tempe yang terbuat dari ampas kelapa, jenis tempe ini lebih inferior lagi ketimbang tempe biasa.

Kini Kedelai menghilang di pasaran, Tempe menjadi barang langka dan harganya naik terus seperti popularitas Jokowi, Pemerintahan Republik ala SBY yang lemahnya menyerupai Republik Weimar ini tergagap soal Tempe, mereka bersidang soal Tempe, soal yang di masa lalu sebagai makanan inferior kini menjadi soal yang sulit bagi Pemerintahan dengan Pencitraan sebagai Panglima. -Maka Tempe sudah menjadi semacam SOB, semacam Staat van Oorlog en Beleg, negara bersiap perang atas kedaulatan Pangan kita. Entahlah mungkin nanti akan ada bibit kedelai Supertoy, kan Presiden kita doktor IPB, Katanya
 

Tradisi Mengibung Di Bali

Selain memiliki tempat wisata yang indah, Bali juga kaya dengan budaya dan tradisi unik, salah satunyamegibung, adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh nilai kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran, bersenda gurau, bahkan bisa saling mengenal atau lebih mempererat persahabatan sesama warga. Makan bersama atau megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 5-8 orang, memang merupakan wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan juga perbedaan kasta ataupun warn, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalu masih dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.Tradisi ini masih tertanam kuat di daerah Karangasem Bali.

Tradisi megibung ini dikenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika pada saat itu, Karangasem dalam ekspedisinya menaklukkan Raja-raja yang ada di tanah Lombok. Ketika istirahat dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung. Bahkan, raja sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya.

Megibung dimulai dari masak masakan khas traditional Bali secara bersama-sama, baik itu nasi maupun lauknya. Setelah selesai memasak, warga kemudian menyiapkan makanan itu untuk disantap. Nasi putih diletakkan dalam satu wadah yang disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayur yang akan disantap disebut karangan. Tradisi megibung ini dilangsungkan saat ada Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat, terutama di daerah Karangasem, misalnya dalam Upacara yadnya seperti pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan hajatan lainnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.

Ada beberapa etika yang perlu diperhatikan saat acara megibung, sebelum makan kita harus cuci tangan terlebuh dahulu, tidak menjatuhkan remah/ sisa makanan dari suapan , tidak mengambil makanan disebelah kita, jika salah satu sudah merasa puas dan kenyang dilarang meninggalkan temannya, walaupun aturan ini tidak tertulis tapi masih diikuti peserta makan megibung.

Di Karangasem, makan megibung secara maraton pernah dilakukan ketika awal pemerintahan Bupati Wayan Geredeg. Makan megibung yang dilakukan tanggal 26 Desember 2006 lalu ini digelar di Taman Sukasada,Ujung dengan jumlah peserta tidak kurang dari 20.520 orang
 

Ada Monyet Menyusui Kucing di Madura

Aneh tapi nyata. Biasanya Kera dan kucing tidaklah pernah akur, bahkan jika bertemu kedua hewan ini kerap saling bertengkar. Namun, kali ini suasananya berbeda.

Ada pemandangan langka di rumah Sukardi, Dusun Brumbung, Desa Lawangan Daya Kecamatan Pademawu Pamekasan, Madura. Seekor kera menyusui kucing setiap hari.

Sungguh luar biasa keakraban yang diciptakan kedua hewan ini. Aneh tapi nyata, Kedua hewan tersebut malah akur. Si kucing yang ditinggal ibunya malah menyusu pada kera yang berparas sangar.
Sukardi menuturkan pada LIcom, kedua hewan ini akur ketika itu si kucing ditinggal pergi ibu kandungnya sejak baru lahir. “Kucing kan perlu susu seperti manusia. eh kok malah kera yang menyusuinya,” kata Sukardi pada LIcom, Kamis (8/12/2011).

“Saat itu saya khawatir takut kucing itu dicabik-cabik oleh kera, eh tidak tahunya malah melindunginya seperti keturunannya sendiri,” kata Sukardi lagi.

Pemandangan semacam itu sudah 7 Bulan lamanya, dan mereka malah tambah akur, saling mengasihi dan saling memberi serta saling melindungi. Bahkan jika ada orang yang mengusiknya, si kera marah. ”Saya salut pada mereka kok begitu akurnya, manusia saja meskipun pada anaknya sendiri kadang suka berantem,” pungkasnya.
 

Ini Dia Asal Mula Jenglot

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDInNZsNRVIuQjxyPVxAkFnyUbFJIpp5baqQ6PcrIlDQndwBx_4hMn09zIw0tXpRS4HQQEcHTj4YnkV8yly9EKCb5wQSQn741AtzkG8IdeJmmv7ERSO2fT7M9ONnKjB49-_vdmatTPcQqx/s1600/JenglotDuduk-02.jpg
Beberapa tahun lalu, sekitar akhir tahun 1997, tiba-tiba saja ada “makhluk” misterius yang jadi pembicaraan. Perawakannya kecil dengan tubuh tak lebih dari 12 cm dan rambutnya yang panjang, jarang dan kaku melewati kaki. Makhluk itu dinamakan jenglot. Kabarnya, jenglot itu bukan benda mati. Konon ia hidup, namun tak ada yang pernah tahu kapan bergerak.
Konon, makhluk misterius itu selalu menghabiskan darah manusia yang dicampur minyak japaron. Namun, sekali lagi, tak ada yang tahu kapan ia menenggaknya. Menurut Hendra, dalam menyantap sajiannya itu,
jenglot tak menggunakan cara seperti yang dilakukan manusia pada umumnya. Yang jelas, dalam setiap 18 jam, sebanyak 3 cc darah dan minyak wangi yang disajikan akan berkurang sekitar 50 persen sampai 60 persen.
http://rioardi.files.wordpress.com/2009/11/11.jpg
Jenglot pada masa ribuan tahun lalu adalah manusia (seorang pertapa) yang tengah mempelajari ilmu Bethara Karang. Ilmu Bethara Karang diyakini sebagai ilmu keabadian. Artinya, setiap orang yang memiliki ilmu tersebut akan hidup abadi di dunia. “Namun, akibat kutukan, jasad jenglot tidak diterima di dunia sedangkan rohnya tidak diterima di akherat. Maka roh tersebut seperti terpenjara dalam jasad kecil ini,” kata Hendra. Setelah itu, sang pertapa menjadi emosional dan merasa sebagai jawara. Tak pelak, tubuhnya pun menyusut, hingga akhirnya mengecil. Empat taring kemudian tumbuh memanjang, tak sebanding dengan lebar mulutnya. Katanya, itu sebagai lambang keganasan dan sifat liar sang “monster”
 

Kisah Nyata Hantu Jepang Sadako sasaki

Sadako Sasaki (7 Januari 1943 – 25 Oktober 1955) adalah seorang gadis Jepang yang tinggal di dekat jembatan Misasa di Hiroshima, Jepang ketika itu tengah dijatuhi bom atom yang jatuh di Hiroshima. Sadako baru berumur dua tahun pada 6 Agustus 1945 ketika ia menjadi korban dari bom atom tersebut.

Pada saat ledakan itu Sadako sedang berada didalam rumah, sekitar 1 mil dari titik ledakan bom. Pada Januari 1955, bintik-bintik ungu sudah mulai terbentuk dan menjadi gumpalan yang membesar. Kemudian, dia didiagnosis dengan leukemia sebagai penyakit yang dideritanya, penyakit itu kemudian disebut sebagai “Sebuah Penyakit Bom Atom”. Pada tanggal 3 Agustus 1955, Chizuko Hamamoto, teman terbaik Sadako datang ke rumah sakit untuk mengunjungi dan memberi sebuah origami dari kertas yang dibuat menjadi Crane. Pada awalnya Sadako tidak mengerti mengapa Chizuko melakukan hal ini, kemudian Chizuko memberitahu cerita tentang karya cranes. Lalu dia mulai membuat crane sendiri sejak dia mendengar cerita itu, Orang Jepang dahulu mengatakan bahwa orang yang bisa membuat 1000 cranes akan mendapat apa yang diinginkannya.

Versi cerita yang populer di Jepang adalah bahwa ia tidak berhasil membuat 1000 cranes dari tujuan awalnya, dia hanya memiliki 644 lipatan sebelum dia mati. Temannya yang berhasil menyelesaikan 1000 crane dikuburkan bersama dengan Sadako.

Sedangkan versi lain menyebutkan bahwa pada akhir Agustus 1955 Sadako telah mencapai tujuan itu dan terus melipat cranes sampai dia mati. Cerita ini berasal dari buku Sadako dan Ribuan Kertas Cranes, sebuah pameran yang muncul di Hiroshima Peace Memorial Museum.

Walaupun dia memiliki banyak waktu luang selama dia di rumah sakit untuk membuat cranes, ia tidak punya cukup kertas untuk membuat 1000 crane tersebut. Dia mendapat kertas dengan cara pergi ke kamar pasien lain untuk meminta bekas kertas hadiah yang sudah tidak digunakan lagi dan temannya, Chizuko yang selalu membawakan kertas setiap hari sepulang dari sekolah untuk Sadako.

Selama waktunya di rumah sakit itu kondisinya semakin memburuk. Sekitar pertengahan Oktober, kaki kirnya bengkak dan berubah menjadi ungu. Dengan keluarga disekelilingnya Sadako meninggal pada pagi 25 Oktober 1955
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. North Read - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger